“Seniku Tak Berhenti Lama”. Begitulah judul pameran lukisan sekelompok perupa di Taman Budaya Yogyakarta, pertengahan Januari 2009. Judul itu merupakan plesetan dari judul karya pelukis Djoko Pekik “Keretaku Tak Berhenti Lama”. Pameran ini unik, karena lahir dari sebuah kebetulan, yang kemudian membuahkan suatu gerakan kepekaan sosial di kalangan seniman.

Di penghujung tahun 2008, sekelompok perupa berkumpul menyambut datangnya tahun 2009. Terlalu sering berkumpul dan terus bersenang-senang membuat mereka merasa jenuhjuga. Maka mereka memutuskan untuk mengisi pergantian tahun dengan acara melukis bersama. Agar acara itu bisa berlangsung, mereka bantingan uang ala kadarnya.

Didahului oleh acara hiburan dan orasi budaya Garin Nugroho, tepat pukul 00.00 mereka mulai melukis. Sebagian melukis sendiri-sendiri, sebagian lagi berkolaborasi, melukis pada satu kanvas. Sedemikian asyik mereka melukis, sampai tak terasa matahari 2009 perlahan mulai terbit.

Karya mereka kemudian dipamerkan di TBY. Di luar dugaan, karya mereka terjual sampai terkumpullah uang hampir 500 juta rupiah. Sesuai dengan kesepakatan awal, 50% dikembalikan kepada pelukisnya. Setelah dipotong sana-sini untuk biaya penyelenggaran, ternyata masih ada sisa uang. Para perupa itu belum tahu, mau dibuat apa dengan uang itu. Ketika mereka masih bergulat dengan pertanyaan itu terdengar kabar, seorang perupa muda, masuk rumah sakit karena kecelakaan.

Mereka lalu memutuskan, akan membantu meringankan musibah itu dengan uang sisa yang tersimpan tadi.

Itulah awal, di mana mereka berpikir tentang dana abadi bagi kesehatan seniman di Yogyakarta. Mereka kemudian bersepakat, mendepositokan uang tersisa tadi, sebanyak 230 juta, lalu bunga depositonya digunakan untuk menolong seniman yang sedang sakit.

Banyak seniman telah dibantu dengan cara demikian, walau bantuan itu sangatlah tidak berarti. Maklum, bunga deposito amat kecil. Tapi justru dalam upaya ini terbersitlah spirit keprihatinan untuk berupaya aga bisa terus menolong lebih banyak orang. Para seniman ini tidak mau menunggu lama untuk bisa menolong rekannya yang sedang dirundung malang. Dengan uang sesedikit apa pun, seperti kereta yang tak boleh telat, seni mereka “tak ingin berhenti lama” untuk menolong sesamanya. Diam-diam judul pameran mereka yang pertama, “Seniku tak berhenti lama” menjadi kenyataan dan mulai menemukan maknanya, mereka terus mengadakan pameran, menolong sesamanya yang menderita. Seni tak boleh hanya diam bertopang dagu terhadap keprihatinan. Itulah sesungguhnya spirit “Seniku tak berhenti lama.”

Seiring dengan berjalannya upaya berbagi itu, kesulitan pun mulai datang. Sering dalam waktu bersamaan, ada 3 atau 4 teman seniman yang membutuhkan pertolongan. Bunga deposito per bulan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan itu. Untunglah pada waktu itu ada beberapa seniman yang rela merogoh kantongnya untuk menyumbang, Tapi terlalu sedikitnya bunga deposito sungguh membatasi niat amal baik mereka.

Maka, untuk menambah perbendaharaan, mereka terus mengadakan pameran di beberapa tempat, dengan menyisihkan 50% hasilnya.
Itulah sebuah lambang solidaritas.

Dari pengalaman mereka terbaca, solidaritas adalah sebuah proyek besar yang hanya bisa dilakukan dengan keterlibatan semua, tanpa membedakan yang besar maupun yang kecil. Tanpa solidaritas takkan tersusun menjadi sebuah proyek bersama yang berhasil. Dan solidaritas itu bisa menghasilkan keunikan yang luar biasa.

Karya rupa mereka akhirnya terjual dan berubah menjadi “uang”, uang itu menjadi uang solidaritas, yang kekua- tannya sangatlah besar dalam membantu teman seniman yang sedang membutuhkan. Sekali lagi nampak, betapa pun tak berarti dan tak bernama seorang seniman, ia ternyata bisa membantu sesamanya juga, bila ia berada dalam gerak solidaritas seni yang sosial ini. Rasanya solidaritas itu menghentakkan, bahwa jalan untuk menolong sesama akan selalu ditemukan, bila orang mau keluar dari keterbatasannya, dan mau menyumbangkan diri dari keterbatasannya dalam kerangka kerja sama yang saling tolong menolong.

Dana Suka Parisuka bertambah. Pernah ada pihak yang menawari, agar dana Suka Parisuka itu dipergunakan sebagai modal bisnis, supaya makin banyak seniman bisa ditolong. Tawaran itu ditolak, sebab “Suka Parisuka” harus tetap berada di jalur kebahagiaan berkesenian dalam suasana kekeluargaan dan saling percaya. Bukan menjadi tegang dan masalah karena mencari untung, apalagi dengan risiko merugi, yang mungkin bisa saja terjadi karena ikut bisnis-bisnisan.

Walau demikian, bukan berarti mereka hanya pasif menunggu donatur dan hanya berharap dari bunga deposito. Ketika seorang pelukis meninggal dunia, mereka tidak serta merta menyerahkan bantuan berupa uang tunai, melainkan bekerja sama dengan keluarganya mengadakan pameran tunggal karya almarhum. Dan hasil penjualan karya diserahkan seluruhnya untuk keluarga almarhum.

Kelompok Suka Parisuka ini tidak hanya sudah membantu seniman rupa, tapi juga seniman-senian lain seperti seniman tradisi, pemusik, pemusik jalanan bahkan wartawan seni budaya.

Hingga saat ini lebih dari 150 nama sudah pernah merasakan manfaat bantuan Suka Parisuka..Seniman “Suka Parisuka” sendiri terkejut, bahwa mereka telah menolong lumayan banyak seniman yang membutuhkan. Lebih mengherankan lagi, itu terjadi dari dana yang demikian kecil dan sempit. Ini menunjukkan bahwa berbagi itu seperti mempunyai jalan, peluang dan kemudahannya sendiri. Asal mau berbagi, juga jika harus berangkat dari modal sekecil apa pun, itu pasti akan menghasilkan buah yang lumayan banyak. Berbagi itu bagaikan “mukjijat” yang melengkapi dan memperkaya dirinya sendiri.

Upaya “Suka Parisuka” juga telah membuka sesuatu yang selama ini mungkin tidak terlalu diketahui, yakni realitas hidup para seniman. Bila dirundung malang dan sakit, akan segera terlihat, bahwa sebagian besar seniman di Yogya sungguh berat keadaannya untuk bisa menolong dirinya sendiri. Sehari-hari mereka dilanda kecupetan hidup. Maka akan sangat disyukuri bila mereka mendapat bantuan di saat musibah datang.

Dr. G.P. Sindhunata, SJ